Deru angin berhembus
diantara helaian rambut membuat sejuk dan tenang. Hujan tidak membahasi belahan
bumi yang kuinjak dalam beberapa pekan ini, namun jalanan tetap terlihat basah,
basah akan kenangan. Hari telah berganti menjadi minggu, dan minggu akan berganti
menjadi bulan. Kenangan akan selalu membanjiri setiap langkah maupun tempat. Katakan
padaku, dimana tempat yang belum pernah kita singgahi? Katakan padaku, kemana
aku harus melangkah untuk dapat sedikit enyah dari kenangan ini.
Merpatiku, belum genap sebulan
kamu pergi meninggalkan aku untuk kedua kalinya. Kehilangan ini bukanlah
sesuatu yang aku mau. Sudah pernah aku merasakan perihnya ditinggalkan olehmu,
oleh karena itu, aku berusaha menjaga dan menjadi yang terbaik agar kamu bisa
tetap tinggal bukan hanya sekedar singgah. Merpatiku, aku tidak percaya semua
ini terjadi, dari aku yang sangat menyayangimu, berharap memiliki atap yang
sama denganmu, berharap dapat menjadi makmum dalam ibadahmu.
Masalah demi masalah datang
silih berganti, namun yang kutahu semua itu dapat kita lalui walau sedikit
terseok-seok. Katamu aku adalah wanita yang terkuat, katamu aku adalah tempatmu
untuk kembali dari kepenatan, katamu aku adalah wanita yang baik, katamu aku
adalah pilihanmu, dan semua katamu tentang aku yang selalu terngiang dibenakku.
Saat, semua “katamu aku adalah...” terucap, apakah benar saat itu kamu sadar
mengucapkannya? Jika memang sadar, kenapa aku ditinggalkan olehmu tanpa
persiapan? Tanpa ada angin apapun, tanpa ada kabar dan berita. Semua terjadi
begitu cepat, saat aku merasa semuanya masih baik-baik saja pada tempatnya.
Merpatiku, aku masih akan
selalu percaya padamu, kamu tau bahwa apapun yang kamu lakukan, pintu hatiku
selalu terbuka untukmu. Namun, kepergian ini menyisakan luka yang begitu dalam
tancapannya. Mungkin aku pernah kehilanganmu, akan tetapi semua ini berbeda. Karena,
aku yang bukan lagi anak-anak yang mengharapkan hubungan sekedarnya, aku ingin
hubungan ini menjadi suatu yang sakral dimata semuanya. Tapi, tidak denganmu,
pikirmu bukanlah aku orangnya. Kenapa jika memang bukan aku kamu harus berkata
tentang “katamu aku adalah...” padahal cukuplah dengan jujur berkata bahwa
memang aku tidak akan bisa mencapai taraf yang kamu mau.
Selama ini, perjuangan yang
aku lakukan serasa sia-sia adanya, 4 tahun terbuang oleh kebohongan yang aku
kira adalah sebuah kepastian. Kamu meninggalkan aku dengan alasan bahwa ini
tidak akan bisa bekerja, akan tetapi kamu tidak memberitahu apa alasannya
dengan jelas. Hingga banyak spekulasi yang aku buat, narasi dikepalaku tentang
berbagai alasanmu. Tapi, kata seorang teman yang bertanya padamu, alasanmu
pergi adalah kita berhenti pada satu titik saja dan tidak berkembang, apakah
iya? Lalu kenapa kamu tidak berusaha untuk membuat kita berkembang? Alasan yang
paling bisa aku terima adalah, kamu meninggalkan aku karena aku tidak baik, aku
merasa bahwa kamu baru kembali dari menunaikan kewajiban dari kepercayaan yang
kita anut, mungkinkah kamu mendapat hidayah sehingga kamu tidak mau memiliki
kekasih hingga ikatan halal diantara kita? Aku tidak bilang aku wanita suci,
oleh karena itu, aku selalu berpikiran seperti itu tentang alasanmu pergi,
sehingga kita berdua bisa berbenah diri hingga menjadi manusia yang taat kepada
Tuhan dan dipertemukan didepan para saksi.
Semua itu berubah, setelah
aku mengetahui suatu fakta, belum ada sebulan kita berpisah, kamu sudah
memiliki tempat persinggahan yang lainnya. Aku tidak mengenalnya, aku tidak
tahu siapa dia, aku tidak tahu bagaimana kalian berjumpa. 15 April adalah saksi
bahwa aku melepaskanmu, dengan bingkisan janji-janji kecilku yang aku kirimkan kepadamu
ditambah sepucuk surat yang menerangkan bahwa aku merelakanmu. Karena, saat
kamu meminta berpisah dariku, masih ada beberapa janji yang belum dapat aku
penuhi dan aku belum mampu untuk mengatakan “iya” untuk melepasmu, maka dari
itu, hadiah terbesarku di hari istimewamu adalah merelakanmu. Tapi, ada hal
lain yang membuat aku terkejut, seorang teman mengabari bahwa di hari tersebut,
kamu telah mengumumkan kepada publik akan hubungan barumu dengannya, dengan
seorang wanita yang cantik yang memehuni taraf dan standar yang kamu punya. Aku
merasa bingung, apakah aku harus bersedih atau senang? Aku sedih, saat aku baru
mengatakan aku merelakanmu, dihari itu juga, secepat itu aku terganti oleh
sosok indah lainnya, sosok yang bukan tandinganku. Aku senang kamu sudah
menemukan orang yang baru, aku hanya bisa berdoa untuk kalian berdua semoga
memang kalian dipertemukan untuk berkembang berdua, seperti harapanmu seperti
keinginanmu yang tidak bisa kamu dapat dariku. Tapi apakah secepat itu aku
tergantikan? 4 tahun kamu mengenal aku, berkata tidak akan melupakan aku, tapi
dalam waktu 3 minggu kamu sudah mampu berbenah memulai hubungan baru yang lain.
Salahku, karena aku tidak peka, status yang ada di media sosialmu ternyata adalah singkatan nama wanita itu jika dibalik. Aku tidak menyangka pada awalnya,
karena nama itu tertulis seminggu setelah kamu pergi. Kamu berkata kamu tidak
akan mencari pelarian, tapi apakah secepat itu hati dapat berubah? Ya mungkin
memang kalian sudah mengenal lama, selama aku tidak tahu, jadi kamu tidak
mengatakan bahwa dia adalah pelarian melainkan tujuan. Untuk itu, kamu
meninggalkan aku demi tujuanmu, bukan pelarianmu.
Aku berusaha menerima semua
ini dengan lapang dada, dengan rasa bahagia dan senyum lebar tersungging
dibibir ini, walau aku tahu hatiku telah hancur sehancur-hancurnya. Tapi untuk
apa aku berusaha menolak semua ini? Semakin aku menolak maka akan terasa
semakin sakit tancapannya. Memang sesuatu ujian dan sesuatu yang menyakitkan
hanya butuh sebuah penerimaan. Hingga suatu hari, hati ini telah bisa kembali
dengan tambalannya. Hati yang pernah terluka, tidak akan sama, orang yang
pernah terluka, tidak akan sama. Aku berbicara tentang kuat, dikesakitan ini
aku masih berusaha mencari pembelajaran yang dapat diambil, seperti aku belajar
tentang melepaskan, merelakan, kesabaran, dan tentunya kekuatan untuk terus
berjuang.
“Bukan tugas seorang wanita untuk memperbaiki a broken man karena dia yang seharusnya bertanggung jawab akan dirinya sendiri.” – kata seorang teman. Merpatiku, jika memang aku sudah berusaha membantumu untuk menjadi lebih baik tapi ternyata sia-sia, berarti tugasku sudah selesai. Bukan aku orang yang tepat untuk merubahmu jadi lebih baik. Untuk itu merpatiku,
Aku pergi... Aku melepasmu... Aku merelakanmu...